Manasik haji, sebagai salah satu rangkaian ibadah dalam Islam, terkadang dianggap sebagai suatu upacara paganisme oleh sebagian orang, terutama dari kalangan atheis. Dialog berikut, akan meluruskan pandangan atheisme terhadap ibadah haji.
“Apakah Anda tidak seperti saya yang menganggap bahwa bentuk-bentuk manasik haji merupakan bentuk upacara paganisme ? Hanya sebuah bangunan batu berbentuk segi empat yang bernama Ka’bah, yang dikelilingi oleh umat Islam saat thawaf, mengusap bahkan mengecupnya, berlari-lari dari Shafa dan Marwah, melempar jumrah, yang semuanya dilakukan dalam tujuh kali. Padahal semua itu merupakan ajaran-ajaran dan angka-angka peninggalan para dukun dan ahli sihir masa lalu?
Selain itu, masih memakai dua helai kain tanpa jahitan yang dibungkuskan langsung pada kulit badan. Sebelumnya saya minta maaf jika pertanyaan saya menyinggung perasaan anda. Karena ilmu pengetahuan yang dalam segala hal memerlukan keterbukaan, tanpa harus ditutup-tutupi, tanpa rasa segan dan ragu dalam menyatakan yang sebenarnya,” uajr Dr. X, demikian saya memanggil sahabat saya itu. Dengan santai saya menanggapi persoalan yang ditanyakannya satu persatu:
“Apakah Anda tidak sependapat dengan saya bahwa dalam hukum alam, yang lebih kecil mengelilingi yang lebih besar. Elektron pada atom mengelilingi intinya. Bulan mengelilingi bumi. Bumi mengelilingi matahari. Matahari bersama kelompoknya, galaksi Kabut Susu mengelilingi galaksi yang lebih besar. Galaksi yang lebih besar itu mengelilingi galaksi yang lebih besar lagi. Demikian seterusnya sampai pada sesuatu yang mutlak Maha Besar, yang tiada lagi yang lebih besar dari-Nya, Allah. Apakah Anda tidak pernah mendengar kami umat Islam menyebut Allahu Akbar, artinya Tuhan Maha Besar, lebih dari segalanya. Berdasar ilmu pengetahuan yang anda dapat dari universitas di Prancis itu, ternyata merupakan keniscayaan bahwa segala sesuatu mengelilingi yang Maha Besar tadi. Jadi kita bersama Matahari dan keluarga galaksinya Kabut Susu mengelilingi yang Maha Besar. Di jagad raya ini, tak ada satupun yang tetap pada tempatnya kecuali Dia, Pencipta alam semesta. Hal itu merupakan hukum alam dan sifat segala sesuatu, yang besar dan yang kecil, seperti yang anda pelajari dalam ilmu filsafat.
Kami umat Islam, dengan penuh kesadaran dan berdasar kehendak sendiri mengelilingi Ka’bah, rumah Tuhan, rumah pertama yang dibangun untuk menyembah-Nya. Sejak ia dibangun, ia menjadi lambang sekaligus menjadi Bait-Al Haram. Apakah Anda dan rekan-rekan anda yang atheis tidak mengitari orang mati yang dimummi di Kremlin? Apakah kalian tidak mengagung-agungkan mayat tersebut dan memujanya sebagai pembawa kesejahteraan dan keadilan bagi umat manusia?
Kalau saja kalian tahu di mana William Shakespeare dikuburkan, pasti kalian akan berlomba-lomba untuk mengunjungi dan mengelilingi kuburannya, bahkan lebih besar dari yang dilakukan umat Islam dalam ziarah ke Masjid Nabi Muahammad saw. Apakah kalian tidak pernah meletakkan sebuah karangan bunga pada tumpukan batu yang sering disebut “prasasti”? Prasasti yang melambangkan seorang pahlawan yang tidak dikenal itu ? Lalu mengapa Anda mencela kami yang melempar batu pada sebuah tugu yang merupakan simbol atau lambang syetan yang terkutuk itu ?
Lalu apakah Anda tidak berlari-lari kecil sejak lahir sampai mati ? Juga Anak-anak dan cucu-cucu Anda ? Hal itu sama dengan berlari-lari kecil antara Shafa – sebagai simbol kepapaan dan ketidakberdayaan, dan Marwah – sebagai simbol keberadaan dan kesejahteraan. Hal ini merupakan simbol dari perjalanan hidup manusia dari tidak ada menuju ada dan dari ada menuju tidak ada lagi. Bukankah semua itu merupakan gerak keterikutan semua mahluk ? Apakah Anda tidak melihat Haji sebagai simbol dari hakikat dan rahasia itu ?
Sedangkan angka tujuh yang Anda pandang dengan sinis itu perlu saya jelaskan. Kira-kira mengapa tangga nada dalam dunia musik hanya tujuh ? yaiu do, re, mi, fa, so, la, si. Setelah si kembali lagi pada do, dan sejak dulu kita tidak pernah menjumpai tangga nada yang kedelapan. Lapis sinar juga terdiri dari tujuh lapis, dan ruang elektron yang berputar mengelilingi inti atom juga berjumlah tujuh. Janin dalam kandungan tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali setelah mencapai tujuh bulan. Jumlah hari dalam satu minggu juga tujuh, baik menurut Islam atau agama lain sebelumnya, sekalipun tanpa perjanjian dan kesepakatan bersama. Apaka ini tidak menjadi alasan ? Apakah ilmu pengetahuan hanyalah dogma dan angka tujuh merupakan mitos para dukun dan ahli sihir atau merupakan salah satu dalam jimat-jimat dan mantera ?
Mengenai kecupan terhadap Hajar Aswad, saya perlu bertanya dulu, apakah Anda tidak pernah mengecup surat-surat kekasihmu ? Apakah lalu Anda menjadi seorang paganis jika mengecup surat-surat itu ? Lalu mengapa Anda mengejek orang Islam yang mengecup Hajar Aswad ?
Hajar Aswad adalah batu yang pernah dijunjung Nabi Muhammad saw dan pernah dikecupnya. Tentu saja dalam semua itu sama sekali bukan bentuk-bentuk ritus paganisme. Sebab orientasi umat Islam dalam berbagai bentuk ritus dan upacara dalam haji adalah eksistensi yang jauh lebih dalam, bukan sebatas susunan batu itu. Pada dasarnya manasik haji menghidupkan pikiran dan perasaan serta meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan penguasa alam semesta.
Makna dua helai kain tanpa jahitan yang dibungkuskan langsung pada tubuh dalam melaksanakan ibadah haji adalah menunjukkan pelepasan diri dari segala unsur keduniaan dan sebagai tanda kehinaan dan kepapaan manusia dihadapan Tuhan. Seperti saat kita baru dilahirkan dari perut ibu, yang hanya dibungkus dengan sehelai kain dan saat mati serta masuk kubur hanya dengan sehelai kain. Bukankah Anda sendiri memakai pakaian resmi saat menghadap kepala negara atau tamu terhormat dari negara lain ?
Kami umat Islam menilai tidak layak seorang hamba ketika menghadap kepada kebesaran dan keagungan Tuhan, kecuali dengan kehinaan dan kepapaan dari segenap gemerlap kekayaan duniawi. Sebab Tuhan lebih agung dan lebih mulia dari seluruh raja dan orang-orang besar lainnya. Tentu tidak patut menghadap-Nya kecuali dengan sikap tawadhu dan dengan segala kerendahan, lepas dari segala sesuatu. Dan kain ihram itu sama antara yang dipakai oleh orang kaya dengan yang miskin, orang kecil atau orang besar. Hai itu melambangkan persaudaraan dalam kemanusiaan dan persamaan derajat, ditengah perbedaan kedudukan, kekayaan dan jabatan.
Bagi umat Islam, ibadah haji merupakan muktamar atau rapat akbar tahunan. Sedang shalat jum’at merupakan pertemuan mingguan masyarakat setempat. Semuanya memiliki makna yang luhur bagi orang yang menggunakan pikiran sehatnya serta selalu memandang positif segala hal. Manasik haji sama sekali bukan bentuk ritus atau upacara paganisme.
Kalau Anda bersama saya berdiri di Padang Arafah, di tengah ratusan ribu, bahkan jutaan yang sama-sama mengucapkan Allahu Akbar...Alahu Akbar, mengkaji ajaran Al Quran dalam puluhan bahasa serta mengumandangkan Labbaik Allahumma Labbaik dengan isak tangis dan hati penuh keharuan, tentu Anda tidak akan bisa menahan air mata, bahkan ikut dalam ratap bersama jutaan hamba Tuhan Yang Maha Agung pemilik dan penguasa segala sesuatu.
Sumber: Dialog dengan Atheis, Dr. Mustafa Mahmud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar