Ketika Islam pertama kali datang di Jazirah Arabia, kaum perempuan berada dalam posisi yang sangat rendah dan sangat memprihatinkan. Hak-hak mereka diabaikan, suara mereka pun tak pernah didengar. Islam kemudian datang merombak total kondisi yang tidak menguntungkan perempuan ini. Kedudukan mereka kemudian diakui dan diangkat. Ketidakadilan yang mereka alamipun kemudian dihilangkan, hak-hak mereka mendapat pembelaan dan jaminan dalam Islam. Sejak itu, kaum perempuan menemukan kembali jati diri kemanusiaan mereka yang hilang. Mereka sadar bahwa mereka adalah manusia sebagaimana halnya kaum lelaki.
Salah satu sebab terjadinya perubahan kedudukan kaum perempuan itu adalah karena Islam dengan tegas menolak anggapan, bahwa Hawa -simbol perempuan- adalah sumber malapetaka dunia karena telah menggoda Adam hingga ”terjatuh” dari sorga. Berbeda dengan anggapan itu al-Qur’an menjelaskan, bahwa yang menggoda Adam dan Hawa secara bersamaan adalah setan, bukan Hawa, sebagaimana firman Allah swt.:
”Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula”. QS. Al Baqarah:36
Islam menegaskan bahwa manusia secara keseluruhan, lelaki maupun perempuan, diciptakan dari jiwa yang satu. Allah swt. berfirman:
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri”. QS. An Nisa:1
Laki-laki dan perempuan, dalam pandangan al Qur’an, adalah sama dalam esensi kemanusiaannya. Maka dilihat dari aspek ini, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kedua jenis manusia itu sama mendapatkan kemuliaan yang Allah berikan kepada seluruh umat manusia tanpa pembedaan, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Isra:70 ”Dan sesungguhnya kami telah muliakan anak-anak manusia”
Penting untuk dicatat bahwa ketika al Qur’an menggunakan kata “manusia” (al insan) atau “anak-anak manusia” (bani Adam), kata itu mencakup baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana ayat yang disebut terakhir. Jika pembicaraan dimaksudkan untuk membedakan salah satu jenis manusia, al Qur’an menggunakan kata ar rijal untuk laki-laki dan an nisa untuk perempuan.
Dalam sebuah haditsnya, Nabi saw. mengilustrasikan hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan kesetaraan dan saling melengkapi. “Kaum perempuan adalah ‘saudara kandung’ kaum lelaki yang memiliki hak dan kewajiban dalam kebaikan” demikian sabda Nabi. Penggunaan kata ‘saudara kandung’ (syaqa’iq) dalam hadits ini mempertegas adanya kesetaraan dan kesejajaran antara lelaki dan perampuan. Oleh karenanya, kedua jenis manusia itu memiliki kedudukan dan derajat yang sama di mata Tuhan. Yang membedakan mereka adalah amal saleh yang mereka lakukan, sebagaimana firman Allah swt:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” QS. An Nahl : 97.
Al Qur’an juga menegaskan, bahwa Allah Maha Mengabulkan doa dan permohonan seorang wanita sebagaimana halnya dengan permohonan lelaki:
“Maka Tuhan akan memperkenankan permohonannyan (dengan firman), “Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah sebagian yang lain”. QS. Ali Imran : 195.
Frasa ‘sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain” yang digunakan dalam ayat di atas menunjukkan, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat saling melengkapi, karena kehidupan di dunia ini tidak akan berjalan secara baik tanpa partisipasi dari kedua jenis manusia itu.
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui sikap dan pandangan dasar Islam terhadap perempuan yang begitu gamblang dan jelas, karena diambil dari nash-nash yang bersifat pasti (qath’iy), baik dari al Qur’an maupun hadits. Dari itu, mereka yang objektif tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menindas perempuan dan mengabaikan hak-haknya. Suatu pandangan objektif sejatinya dapat memilah antara Islam sebagai agama di satu sisi, dan tindakan penganutnya di sisilain.
Sumber: Prof. Dr. Mahmoud Hamid Zaqzouq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar