Sesungguhnya, Islam bukanlah agama pertama yang melegalkan praktik poligami. Islam, dengan demikian tidaklah membawa sesuatu yang baru, dan tidak menjadi pelopor praktik poligami. Justru Islamlah agama pertama yang mengatur kehidupan berkeluarga dan menjadi pelopor dalam hal pembatasan jumlah istri dalam perkawinan poligami, setelah melegalkan perkawinan seperti ini melalui serangkaian persyaratan dan kewajiban yang sangat ketat dan tidak ringan.
Saat Islam datang, poligami sebenarnya telah dipraktikkan secara luas tanpa batasan dan syarat apa pun. Praktik poligami tanpa batas ini bukan saja merebak di kalangan bangsa Arab, tetapi juga pada bangsa dan peradaban non-Arab. Saat Islam datang, syariat atau aturan-aturan hukumnya tentu harus mempertimbangkan prinsip kebertahapan dan gradualitas dalam mengubah tradisi dan adat istiadat yang negatif. Kebertahapan ini merupakan suatu hal yang niscaya dilakukan, terutama bila dicermati, bahwa mengubah total secara all at once suatu tradisi dan kultur yang telah mengakar merupakan suatu hal yang hampir mustahil dan bersifat kontraproduktif. Karena itu, prinsip kebertahapan dan gradualitas seperti ini menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan bagi siapa pun yang hendak memahami secara proporsional sikap Islam atas poligami.
Seperti disinggung di atas, sebelum kedatangan Islam, model perkawinan poligami telah marak dipraktikkan tanpa pembatasan jumlah istri yang dipoligami. Islam kemudian datang membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi, melalui firman Allah swt:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat” QS An Nisa :3.
Kendatipun Islam menganggap sah menikahi dengan paling banyak empat orang istri seperti tersurat dalam ayat di atas, tetapi harus diingat, bahwa keabsahan poligami itu hanya dapat dilakukan jika seorang suami memenuhi syarat pokoknya, yakni kemampuan bersikap adil terhadap para istri. Oleh karenanya, Nabi saw mengecam pelaku yang tidak dapat bersikap adil terhadap istri-istrinya “Barangsiapa yang memiliki dua istri (namun) ia lebih cenderung kepada salah satu dari keduanya, niscaya ia datang di Hari Kiamat nanti dengan salah satu kaki yang pincang” HR Ibnu Majah.
Al Qur’an sesungguhnya telah memperingatkan, bahwa bersikap adil terhadap para istri merupakan sesuatu yang sulit diwujudkan. Pelaku poligami, betapapun kuat tekad dan usahanya untuk, tidak akan pernah bisa berhasil mengejawantahkan sikap adil itu secara sempurna. Dalam hal ini, al Qur’an secara jelas menyatakan:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” QS An Nisa : 129
Jika demikian sulitnya mewujudkan sikap adil terhadap istri-istri dalam perkawinan poligami, maka hendaknya seseorang dalam situasi seperti ini harus merasa cukup dengan satu orang istri saja. Inilah sebenarnya anjuran al Qur’an yang diutarakan secara eksplisit dan gamblang sejak 14 abad silam. Allah swt berfirman :
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” QS An Nisa : 3
Demikianlah, Islam sesungguhnya tidak bermaksud memerintahkan dan mendorong seorang Muslim untuk kawin dengan lebih dari satu orang, dan tidak lebih dari empat orang. Islam juga bukan agama yang memelopori praktik perkawinan poligami. Sebelum kedatangan Islam, poligami telah menjadi tradisi yang marak dipraktikkan oleh banyak orang. Islam justru datang untuk mengarahkan praktik poligami ini dengan cara yang penuh hikmah, tanpa perlu menimbulkan goncangan sosial yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan di sini, monogami sebenarnya merupakan prinsip dasar perkawinan dalam Islam. Poligami diperbolehkan sebagai bentuk pengecualian, dalam kondisi-kondisi khusus; berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan masuk akal.
Untuk menyebut beberapa contoh dari kondisi-kondisi khusus yang dapat dijadikan pengecualian keabsahan berpoligami adalah berkecamuknya peperangan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah laki-laki di satu sisi, sementara sisi lain kuantitas perempuan tetap dan terus berkembang. Dalam kondisi seperti ini, poligami dapat dijadikan alternatif untuk mengantisipadi ketidakseimbangan dan menjadi solusi agar kaum perempuan tidak terpaksa harus melajang sepanjang hayat mereka. Seorang istri yang mengalami sakit tak tersembuhkan sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, atau seorang istri yang tidak mampu memberi keturunan, kondisi-kondisi seperti ini juga dapat dimasukkan sebagai bentuk pengecualian yang memungkinkan seorang suami berpoligami, namun dengan tetap menjaga asas keadilan terhadap para istri, tanpa pembedaan.
Akan tetapi, kendatipun Islam melegalkan poligami sebagai bentuk pengecualian sebagai dijelaskan di atas, hendaknya harus diingat, bahwa Islam mengecam praktik poligami tanpa dasar yang kuat karena akan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
Sumber: Islam Dihujat Islam Menjawab, Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq, Penerbit Lentera Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar