Sesungguhnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti dalam Islam. Dalam perspektif Islam, al Quran telah secara jelas dan tegas menyatakan “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” QS 2:56. Di sini, Islam melarang secara tegas bentuk-bentuk pemaksaan untuk menganut agama tertentu. Kebebasan manusia dalam memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran akidah Islam. Dengan demikian, penegasan al Quran tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan merupakan prinsip yang tidak dapat ditawar lagi. “Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” demikian pernyataan al Quran (QS 18:29).
Jaminan Islam terhadap kebebasan beragama sebenarnya muncul dari pengakuan Islam atas kemajemukan keagamaan. Dalam praktiknya, jaminan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw sebagaimana tertuang pada Konstitusi Madinah. Dalam konstitusi tersebut, dijelaskan antara lain klausul tentang pengakuan eksistensi kaum Yahudi sebagai bagian dari kesatuan komunitas umat bersama kaum Muslimin di Madinah.
Bertolak dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Islam ini pula, Khalifah ke-2, Umar bin Khatthab memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis yang beragama Kristen. “Bagi mereka jaminan keamanan atas kehidupan, gereja-gereja dan salib-salib mereka. Mereka tidak boleh diganggu dan ditekan karena alasan agama dan keyakinan yang mereka anut”, demikian kebijkan dan jaminan Umar bin Khatthab bagi umat non-Islam.
Lebih dari itu, Islam juga sangat terbuka bagi munculnya dialog-dialog cerdas dan positif antarumat beragama. Ia sangat menghargai dialog-dialog yang dilandasi oleh prinsip objektifitas dan tidak bertujuan untuk saling memojokkan atau mendiskreditkan. Dalam hal ini, al Quran menyatakan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” QS 16:125
Sejatinya, dialog antaragama memang harus berlandaskan pada prinsip yang toleran seperti anjuran ayat al Quran di atas. Demikian memang ajakan dan perintah al Quran kepada kaum Muslim dalam melakukan dialog dengan para kaum Ahlul Kitab, sebagaimana firman Allah swt:
“Katakanlah, “Hai Ahlul Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah “Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” QS 3:64.
Ayat di atas menginformasikan kepada kita bahwa bilamana suatu dialog antarumat beragama mengalami deadlock dan tidak mencapai titik temu yang diharapkan, maka setiap penganut agama harus kembali kepada ajaran agama masing-masing. Inilah sebenarnya makna dari ayat terakhir surah al kafirun “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku” QS 109:6.
Keimanan, keyakinan, dan keberagaman, agar benar dan dipercayai, haruslah merupakan tindakan yang berdiri di atas, dan didasari oleh, penerimaan yang sadar, tulus dan tanpa paksaan. Keimanan dan keyakinan yang hakiki tidak akan muncul jika landasannya adalah fanatisme buta atau karena keterpaksaan. Dengan kata lain, masalah keimanan adalah urusan dan komitmen individual, karenanya tak seorang pun dapat mencampuri dan memaksa komitmen individual ini. Iman, sebagaimana ditekankan dalam teks dasar Islam dengan kata-kata yang jelas dan tak dapat diragukan, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan, ketulusan dan kebebasan.
Oleh karenanya, setiap individu sebenarnya memiliki kebebasan dalam memilih keyakinan dan keimanan, sebagaimana ia juga mempunyai kebebasan untuk menganut suatu paham atau aliran pemikiran tertentu. Tak seorangpun dapat melarang seseorang untuk tidak menganut aliran pemikiran tertentu, bahkan pemikiran yang atheis sekalipun. Ia bebas meyakininya selama menjadi komitmen pribadinya dan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Tetapi bila ia berusaha memprovokasi dan menyebarkan pemikiran atheistik yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat yang religius, tentu persoalannya menjadi lain. Sebab pada saat itu, ia telah melakukan pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan publik akibat agitasi dan peraguan yang dilakukan. Sebagaimana dimaklumi, setiap pelanggaran terhadap keamanan dan stabilitas umum, di negara dan komunitas manapun, tentu akan berhadapan dengan sanksi hukum tertentu. Bahkan dibeberapa negara, sanksi pelanggaran terhadap keamanan dan stabilitas umum bisa sampai pada hukuman mati, karena dianggap telah melakukan pengkhianatan besar atau makar terhadap negara.
Pada titik ini, kiranya dapat dipahami, bahwa dalam syariat Islam, hukuman mati bagi orang yang murtad sebenarnya dilakukan bukan semata-mata karena pilihan bebas seseorang untuk ke luar dari Islam (murtad), melainkan karena fitnah dan agitasi yang dilakukannya dianggap telah mengganggu ketentraman dan stabilitas umum dalam sebuah Islam. Dengan demikian, jika seseorang memutuskan ke luar dari Islam (murtad) dan keputusannya itu hanya menjadi komitmen dan keyakinan pribadinya, sementara dia tidak berupaya melakukan agitasi dan provokasi kepada publik, tentu ia bebas memilih dan menganut keyakinannya itu tanpa harus khawatir mendapatkan sanksi hukum dari negara.
Oleh karenanya, beberapa cendikiawan Muslim kontemporer menyatakan bahwa sanksi hukum bagi seorang murtad (sebagai komitmen dan keyakinan pribadi), bukanlah di dunia ini, melainkan di akhirat kelak. Adapun peperangan yang terjadi di masa-masa awal Islam terhadap beberapa kelompok orang yang murtad, peperangan tersebut dilakukan bukan karena faktor ke luarnya seseorang atau sekelompok orang dari Islam (murtad), tetapi lebih disebabkan oleh kekacauan dan pemberontakan yang dilakukan orang-orang murtad itu terhadap Islam dan kaum Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar