Al Quran mengecam dan berusaha mengikis habis segala bentuk kezhaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan kultur sendiri, semua itu adalah pertanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar Rum : 22). Kebhinekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al Hujurat : 13), bekerja sama, tolong-menolong, dan bahu-membahu, dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al Ma'idah). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek moyangnya, tetapi oleh volume ketakwaannya (al Hujurat : 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan, atau menjatuhkan satu sama lain. Juga diimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (al Hujurat : 12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti-defamation law.
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun rasnya, dan tidak boleh berbuat zhalim, munkar, keji, serta melampaui batas (an Nahl : 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zhalim (al Ma'idah : 8). Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq) (al Isra' : 33). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah meyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al Ma'idah : 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang menindas dan merampas hak manusia lain saja dilarang. Tidak hanya mengubur bayi perempuan hidup-hidup yang dikutuk, tapi juga bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al Israa' : 37-38).
Islam adalah satu-satunya agama yang dengan tegas menentang dan berupaya melepaskan manusia dari belenggu pembudakan. Memerdekakan budak (tahriru raqabah) sangat digalakkan sebagai alternatif pembayaran denda dan penghapus dosa (kaffarah). Kampanye 'manumissi' ini sudah dimulai sejak Nabi Muhammad saw melancarkan dakwahnya di Mekah, sebagaimana direkam dalam ayat 13 surah al Balad "fakku raqabah". Memerdekakan di sini bisa dengan melepaskan haknya sebagai tuan, dengan cara membeli atau ataupun menebus dari tuan pemilik budak yang bersangkutan lalu membebaskannya. Rasulullah sendiri selama hidupnya membebaskan tidak kurang dari 63 orang budak, sedangkan Aisyah ra istri beliau memerdekakan 67 hamba sahaya. Kalau Abdullah 'ibnu Umar membebaskan sekitar 1.000 orang budak, maka pengusaha 'Abd al Rahman ibn 'Awf membeli 30.000 budak untuk kemudian dimerdekakan. Kebijakan dan teladan ini ditiru oleh kaum muslimin dari generasi mendatang hingga lama-kelamaan pembudakan berhasil dilenyapkan.
Rasulullah menegaskan kembali dalam 'khutbah perpisahan' beliau dihadapan ribuan jamaah haji di bukit Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah 10 Hijriah (= 6 Maret 632 M), "Wahai manusia, dengarlah baik-baik. Aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih dapat bersama kalian. Simaklah apa yang akan aku katakan dan sampaikanlah kepada mereka yang tidak dapat hadir saat ini...Setiap manusia adalah anak Adam dan Hawa. Orang Arab tidak lebih istimewa dari orang bukan Arab. Dan orang bukan Arab tidak lebih istimewa dari orang Arab. Demikian pula orang kulit putih tidak lebih istimewa dibanding orang kulit hitam. Dan orang kulit hitam tidak lebih istimewa dibanding orang kulit merah; kecuali karena takwa dan amal salihnya. Ketahuilah bahwa setiap orang muslim adalah saudara bagi orang muslim lainnya. Tidak boleh ia mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan izin dan ridhanya. Jangan kalian saling menzhalimi. Ingatlah suatu hari nanti kalian akan bertemu Allah dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kalian".
Khutbah ini merupakan monumen dalam sejarah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM), dideklarasikan 1.300 tahun silam sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Dalam khutbah tersebut Nabi Muhammad dengan tegas menolak rasisme apapun bentuknya, dari superpriority complex hingga diskriminasi dan perampasan hak orang lain. Beliau juga menyeru kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, jauh sebelum Revolusi Prancis meneriakkan slogan "liberte, egalite, fraternite". Manusia tidak boleh direndahkan dan dizhalimi hanya karena ras dan warna kulitnya.
Sumber: Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, penulis Dr. Syamsuddin Arif, penerbit Gema Insani Press.
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun rasnya, dan tidak boleh berbuat zhalim, munkar, keji, serta melampaui batas (an Nahl : 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zhalim (al Ma'idah : 8). Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq) (al Isra' : 33). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah meyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al Ma'idah : 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang menindas dan merampas hak manusia lain saja dilarang. Tidak hanya mengubur bayi perempuan hidup-hidup yang dikutuk, tapi juga bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al Israa' : 37-38).
Islam adalah satu-satunya agama yang dengan tegas menentang dan berupaya melepaskan manusia dari belenggu pembudakan. Memerdekakan budak (tahriru raqabah) sangat digalakkan sebagai alternatif pembayaran denda dan penghapus dosa (kaffarah). Kampanye 'manumissi' ini sudah dimulai sejak Nabi Muhammad saw melancarkan dakwahnya di Mekah, sebagaimana direkam dalam ayat 13 surah al Balad "fakku raqabah". Memerdekakan di sini bisa dengan melepaskan haknya sebagai tuan, dengan cara membeli atau ataupun menebus dari tuan pemilik budak yang bersangkutan lalu membebaskannya. Rasulullah sendiri selama hidupnya membebaskan tidak kurang dari 63 orang budak, sedangkan Aisyah ra istri beliau memerdekakan 67 hamba sahaya. Kalau Abdullah 'ibnu Umar membebaskan sekitar 1.000 orang budak, maka pengusaha 'Abd al Rahman ibn 'Awf membeli 30.000 budak untuk kemudian dimerdekakan. Kebijakan dan teladan ini ditiru oleh kaum muslimin dari generasi mendatang hingga lama-kelamaan pembudakan berhasil dilenyapkan.
Rasulullah menegaskan kembali dalam 'khutbah perpisahan' beliau dihadapan ribuan jamaah haji di bukit Arafah pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah 10 Hijriah (= 6 Maret 632 M), "Wahai manusia, dengarlah baik-baik. Aku tidak tahu apakah tahun depan aku masih dapat bersama kalian. Simaklah apa yang akan aku katakan dan sampaikanlah kepada mereka yang tidak dapat hadir saat ini...Setiap manusia adalah anak Adam dan Hawa. Orang Arab tidak lebih istimewa dari orang bukan Arab. Dan orang bukan Arab tidak lebih istimewa dari orang Arab. Demikian pula orang kulit putih tidak lebih istimewa dibanding orang kulit hitam. Dan orang kulit hitam tidak lebih istimewa dibanding orang kulit merah; kecuali karena takwa dan amal salihnya. Ketahuilah bahwa setiap orang muslim adalah saudara bagi orang muslim lainnya. Tidak boleh ia mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan izin dan ridhanya. Jangan kalian saling menzhalimi. Ingatlah suatu hari nanti kalian akan bertemu Allah dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kalian".
Khutbah ini merupakan monumen dalam sejarah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM), dideklarasikan 1.300 tahun silam sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Dalam khutbah tersebut Nabi Muhammad dengan tegas menolak rasisme apapun bentuknya, dari superpriority complex hingga diskriminasi dan perampasan hak orang lain. Beliau juga menyeru kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, jauh sebelum Revolusi Prancis meneriakkan slogan "liberte, egalite, fraternite". Manusia tidak boleh direndahkan dan dizhalimi hanya karena ras dan warna kulitnya.
Sumber: Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, penulis Dr. Syamsuddin Arif, penerbit Gema Insani Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar